Ritson Manyonyo, Tuna Netra yang Menjadi Mata Bagi Tuna Netra
Jumat 6 Juni lalu saya kembali berkunjung ke Yayasan Elsafan di belakang Rusun Klender Jakarta Timur. Ini kunjungan kedua kalinya dan saya kembali berjumpa dengan Pak Ritson Manyonyo yang menjadi pemimpin Yayasan Elsafan ini. Berikut cuplikan kesaksian dari Pak Ritson yang dikenal dengan panggilan Pak Sony :Hatinya pernah hancur berkeping lantaran kehilangan penglihatan. Namun awal tahun 2006 lalu, bersama para sahabat yang juga tunanetra, ia mendirikan panti dan lembaga pendidikan bagi anak-anak yang juga tunanetra.
Ritson Manyonyo lahir sempurna meskipun tulang kepala terlihat agak besar. Semua panca indera berfungsi baik. “Tapi secara psikis saya minder, kepala dan mata saya terlihat besar. Bahkan agak menonjol. Beberapa anak mengejek, memberi sebutan si mata besar. Julukan yang menyakitkan,” kata Sony, panggilan akrab pria kelahiran Tentena, 5 Maret 1975.
Kekurangan fisik Sony sedikit tertutup oleh prestasinya di sekolah. Ia pintar dan nilai-nilainya cukup bagus. Namun, ketika memasuki SMA, masalah penglihatan muncul. Bila malam tiba, Sony melihat bola lampu dikelilingi sinar warna warni seperti pelangi. Berulangkali ia mengucek-ucek matanya.
Namun karena ‘pelangi’ itu tetap terlihat, tak dihiraukannya. Melihat keanehan kepala Sony, orangtua membawanya ke dokter. Diagnosa, Sony tumor otak. Karena peralatan medis tidak lengkap Sony dirujuk ke rumah sakit di Surabaya. Hasil scanning yang dilakukan, tak ditemukan tumor otak yang ditakutkan seperti diagnosa dokter sebelumnya. Sony pun disarankan ke poli mata. Hasilnya Sony menderita syaraf mata, glaukoma. Kalau tidak segera ditangani bisa terjadi penurunan penglihatan.
Sony tidak bisa meneruskan pemeriksaan dan pengobatan. Dana yang dibawa tak mencukupi. Mereka di Surabaya hampir tiga bulan, tentu bukan uang sedikit. Ibunya lalu minta resep dan obat tetes mata. Mereka juga tidak mau mengambil tindakan operasi karena tidak ada jaminan kesembuhan. Bisa sukses, bisa juga gagal, fifty-fifty. Padahal biaya operasi sangat besar. Sony dan ibunya kembali ke kampung halaman. Sony menjalani hidup seperti biasa. Tak semua apotek menyediakan obatnya. Sony harus ke Palu, jarak yang sangat jauh dari tempat tinggalnya. “Obat habis, ya sudah…enggak dibeli,” ungkap anak bungsu dari enam bersaudara, anak pasangan Pdt. Padeda Manyonyo dan Dariana Ancura.
Penglihatan Memburuk
Lulus SMA, Sony bermaksud mengambil pendidikan polisi militer tapi tersandung kondisi fisik. Begitu juga ketika mau mengambil Bahasa Inggris, ada tes di laboratorium bahasa yang juga tidak memungkinkan untuk matanya.
Sony lantas ikut kakaknya di Makasar, tak lama pamannya datang dan mengatakan bahwa ia telah mendaftarkan ke STT Doulos. Sony tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia ke Jakarta dan kuliah di sana. Semester enam, Sony praktek di Kerawang. Beberapa kali ia menabrak orang dan masuk di got.
Ketika masuk kuliah kembali, Sony kaget karena tidak bisa lagi membaca tulisan di papan dengan jarak lebih dari empat meter. Batin Sony terhenyak, mulai gundah. Sony yang biasanya duduk di belakang pindah di bangku paling depan. “Saya berdoa minta kesembuhan tidak sembuh sembuh. Padahal saya sering mendoakan orang sakit sembuh. Banyak mujizat terjadi. Tapi saya kondisinya bukannya membaik tapi malah sebaliknya, makin buruk. Saya kerap nabrak teman di kelas, pintu bahkan tembok. Jadilah bahan tertawaan teman-teman di kampus,“ ungkapnya tertawa lepas.
Sony periksa mata di RS Cikini. Diukur tekanan bola mata, ‘freon’ bola mata kering, tekanan tinggi syaraf melemah. Glaukoma sudah akut. Kata dokter, lambat laun Sony mengalami kebutaan. Mendengar itu Sony tersentak. Buta? Ah, tidak…tidak! Kata-kata dokter yang lembut itu sangat menyayat batinnya. Sony melakukan second opinion ke Jakarta Eye Center. Hasilnya sama.
Merasa tak Berharga
Batin Sony terhuyung huyung. Ke manakah harapan masa depan itu? Gelap. Ia tak melihat apa-apa kecuali kegelapan itu sendiri. Lalu untuk apa kuliah? Sony tidak melihat sedikitpun manfaatnya. Semua yang dilakukan akan sia-sia. Apa yang bisa dilakukan oleh orang buta?
Sony memutuskan berhenti kuliah. Pengalaman, pengertian dan iman pada Tuhan selama kuliah di teologia sekejap hilang. “Orang bilang ke dukun, saya pergi ke dukun. Orang bilang mata ditetesi darah belut, saya ikuti. Orang bilang, golok ditaruh semalaman agar kena embun, nah embunnya itu di teteskan ke mata, itu juga saya lakukan. Pokoknya yang aneh-aneh dan enggak masuk akal saya ikuti. Saya marah betul sama Tuhan. September 1998, mata kiri saya buta total. Penglihatan mata kanan saya juga sangat menurun. Saya menumpang dari rumah teman dan saudara. April 1999, mata kanan menyusul, buta.”
Hancur, remuk , luluh-lantak perasaan Sony. Cita-cita, impian dan harapan masa depan melayang. Lalu untuk apa hidup? Ia merasa benar-benar tak berharga. Jarum kehidupan seolah berhenti. Apalagi Sony suka baca dan olah raga, kedua hobi yang memerlukan mata. Kesedihan merobek-robek hatinya. Jalan dituntun, pakaian dicuci orang lain, makan diambilin. Lalu untuk apa merantau kalau tak bisa apa-apa? Pikiran Sony kacau balau. Ia lantas pulang kampung.
Sony benar-benar ‘meratapi nasib’. Ia tak mau di kamar, memilih tidur di gudang bareng anjing piaraan. “Saya merasa seperti anjing. Pagi dikasih makan, siang dikasih makan, malam dikasih makan. Saya bilang sama Tuhan, ambil saja nyawa saya. Biar selesai semua. Tidak jadi beban orangtua. Saya tahu bapak dan ibu saya sering menangis memikirkan saya. Perasaan saya sensitif sekali, marah terus. Sama seperti ketika bapaknya membawa pendeta tunanetra menemui Sony. Ia malah marah, untuk apa bawa-bawa orang tunanetra?
Bertemu Marten dan Marwoto
“Bapak antar saya ke temannya yaitu ke Pdt. Marten di Bawen, Salatiga. Ia punya panti asuhan. Saya merasa nyaman di sana karena dimanusiakan,” tutur Sony. Percaya diri Sony bersemi ketika satu kali Pdt. Marten memintanya menjadi koordinator doa di panti itu. Ia merasa berguna. Setahun di tempat itu Sony belajar huruf braille.
Sony berkenalan dengan Drs. Nicodemus Marwoto, tunanetra, dosen pendidikan UKSW, Salatiga. Sony diajak ke rumahnya. Marwoto menunjukkan alat–alat seperti mesin tik braille, Alkitab braille, alat-alat mengajarnya. Awalnya, Sony pikir Marwoto bohong. Mana mungkin orang buta jadi dosen? Tahu penasaran Sony, Marwoto mengajaknya ke kampus. Sony masuk kelas saat Marwoto mengajar. Sony kagum bukan main. Dosen tunanetra? Sungguh tak pernah terpikir olehnya. “Kalau saya bisa, Ritson juga bisa….,” ucap Marwoto kala itu. Kata-kata yang menggetarkan hati Sony. Membukakan wawasan, tunanetra juga bisa berprestasi. Kamu harus bisa pergi, mencuci, masak , bisa huruf braille, menggunakan komputer dengar, kamu harus mandiri, tambah Marwoto menyemangati Ritson.
Semangat seperti api yang memercik. Juni 2001 Sony kembali ke Jakarta menyelesaikan kuliahnya yang tertunda di STT Agape, 2004 wisuda. “Kebutaan tidak lagi menjadi sesuatu yang membuat saya menderita tapi spirit maju,“ ujar suami Kristina Silva.
Elsafan
Bersama tujuh sahabat yang juga tunanetra, Sony membentuk wadah Elsafan Ministry yang kemudian, Februari 2006, menjadi Yayasan Elsafan. Elsafan merupakan bahasa Ibrani yang berari Tuhan pelindungku. Mereka mendirikan panti sosial anak tunanetra dan cacat ganda.
Kasih sayang menurut Sony menjadi modal utama melayani anak-anak berkebutuhan khusus ini. Elsafan saat ini memiliki 30 karyawan, yaitu 9 pengasuh dan 13 guru. Tujuh guru diantaranya tunanetra. Mereka mendididk anak-anak tidak saja untuk mandiri tapi juga berprestasi. “Semoga dari sini lahir ‘Stevie Wonder dan ‘Helen Keller,” harapnya mantap.
Stevie Wonder adalah penyanyi, pencipta lagu, produser rekaman dan aktivis sosial Amerika, peraih 21 penghargaan Grammy, satu piala Oscar untuk lagu terbaik. Sedangkan Helen Keller adalah penulis buku, aktivis politik dan dosen di Amerika. Beberapa bukunya diterjemahkan ke 50 bahasa. Stevie Wonder maupun Helen Keller, keduanya tunanetra.
Tak ada yang mustahil . Akan lahir anak-anak berprestasi dari Elsafan.
Sumber: Majalah Bahana
Post a Comment