News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Lindungi Anak Anda dari Predator Seksual

Lindungi Anak Anda dari Predator Seksual

Kasus pelecehan anak yang secara beruntun dan mengerikan terjadi di tanah air menyentak kita semua. Kasus pelecehan anak baik di JIS serta pelecehan yang dilakukan Emon menjadi perbincangan kita semua. 
Mencuatnya kasus ini  pada akhirnya menarik perhatian berbagai pihak untuk lebih memperhatikan isu pelecehan seksual terhadap anak yang selama ini terabaikan. Saya mecoba mencari artikel yang terkait dan saya menemukannya di Parents.com dengan judul ""Protect Your Child From a Predator". Artikel ini ditulis oleh  Jessica Snyder Sach untuk Parents Magazine dan sudah diterjemahkan ke Parents Indonesia.
Pelaku Pelecehan dari Lingkungan Terdekat
Kini para orang tua lebih sadar bahwa pelecehan seksual ternyata cukup umum terjadi. Data dari National Sexual Violence Resource Center memperlihatkan, satu dari empat anak perempuan dan satu dari enam anak laki-laki berisiko mengalami pelecehan seksual sebelum mencapai usia 18 tahun. Sekitar 90 persen pelaku pelecehan masih memunyai hubungan keluarga dengan korban atau berasal dari lingkungan terdekat seperti tetangga, teman keluarga, guru, dan pelatih olahraga. “Pelaku kejahatan ini biasanya memiliki sikap yang sekilas terlihat baik, seperti misalnya hangat, penuh perhatian, penyayang, dan sopan,” ujar Robin Sax, penulis buku Predators and Child Molesters. Sebelumnya, Sax pernah menjadi jaksa penuntut di Los Angeles yang khusus menangani kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak. “Justru sifat-sifat seperti ini yang membuat mereka dapat terus melakukan aksi mengerikan itu.”

Hal itu juga yang menjadi alasan mengapa strategi pencegahan yang selama ini disebarluaskan tampaknya tidak berhasil. Mengharapkan anak dapat membedakan sentuhan positif dan sentuhan negatif justru dapat menjadi bumerang. Sebab, kejadian pelecehan seksual tak selalu membuat anak merasa muak. Bisa jadi mereka tak sadar bahwa sedang disakiti. Selain itu, sebagian kasus bahkan tak melibatkan sentuhan langsung. (Contohnya ketika orang dewasa memperlihatkan video porno kepada anak atau saat meminta mereka melakukan tindakan tidak senonoh.) Sementara itu, menganjurkan anak untuk “berteriak dan memberitahu” bila ada orang dewasa yang membuatnya merasa tidak nyaman juga bisa jadi tidak efektif.  Apalagi bila pelaku adalah sosok yang dihormati dan sanggup menjalin kepercayaan dengan anak Anda.

Sayangnya, kebanyakan anak yang mengalami pelecehan seksual akan merahasiakan kejadian ini karena mereka bingung, takut, atau merasa bersalah. “Peleceh kerap membuat korban merasa malu dan menjatuhkan harga diri mereka. Ia juga biasanya mengancam anak supaya mereka tak mengadukan kejadian itu ke orang lain,” terang Anne Lee, pendiri Darkness to Light, sebuah lembaga non profit di Charleston, South Carolina. Lembaga ini didirikan guna mencegah terjadinya pelecehan seksual pada anak.

Anak Harus Lebih berani

Yang lebih penting sebenarnya mendorong anak untuk berani meminta pertolongan ketika mereka bingung atau resah karena baru mengalami kejadian yang tak mengenakkan, ujar Linda E. Johnson, direktur eksekutif Prevent Child Abuse Vermont, bagian dari Prevent Child Abuse Amerika. Saat berbicara kepada anak, sebaiknya Anda menghindari penggunaan kata harus. Mengatakan “Kamu harus teriak” atau “Kamu harus lari” akan membuat anak merasa terbebani. (Dan jika Anda mengutarakan hal ini kepada anak yang pernah mengalami pelecehan seksual, ucapan Anda akan mengesankan tuduhan bahwa ia semestinya mampu bertanggung jawab dalam melindungi dirinya sendiri.

Jadi, apa yang bisa Anda lakukan untuk melindungi anak-anak dari kejahatan ini? Tak lain dengan berbicara secara mendalam dan hati-hati dengan mereka. Jangan lupa, pemahaman yang Anda sampaikan haruslah sesuai dengan tahapan usia anak. (Lihat “Mencegah Terjadinya Kekerasan Pada Anak” di halaman selanjutnya.) Selain itu, percayai insting Anda. “Jika Anda merasa tak nyaman atau terganggu dengan seseorang yang beraktivitas dengan anak Anda, jangan acuhkan perasaan itu,” kata Sax. Meskipun orang tersebut adalah tetangga dekat atau kenalan di tempat ibadah yang hampir selalu menawarkan bantuan untuk membantu menjaga anak Anda atau mengajaknya jalan-jalan. Memang, perasaan tak enak tidak selalu berarti ada hal buruk tengah terjadi. Tetapi setidaknya Anda telah menutup akses orang tersebut ke dalam kehidupan anak.

“Di sekolah pun begitu. Jika ada sesuatu yang mengganggu Anda, segera laporkan kepada guru atau pengelola sekolah. Sebab mereka adalah pihak yang sesungguhnya paling tahu apakah kekhawatiran Anda layak diperiksa lebih lanjut atau tidak,” Sax menjelaskan. Tak perlu ragu memasukkan laporan, selama Anda punya alasan yang jelas di balik pengaduan itu.

Kenali setiap orang dalam lingkungan anak

Pada kenyataannya, Anda tak bisa berada di samping anak setiap saat. Karena itu, sebaiknya Anda memastikan bahwa anak berada di lingkungan yang aman serta di bawah perlindungan orang dewasa yang dapat dipercaya. Saat ini banyak institusi kepemudaan yang menetapkan kebijakan “harus didampingi setidaknya oleh dua orang dewasa”. Berdasarkan peraturan ini, setiap kali ada kegiatan atau tamasya ke luar kota, harus ada setidaknya dua orang dewasa yang memimpin dan mengawasi grup. Jika anak Anda bergabung dalam lembaga yang memiliki peraturan ini, minta ia bercerita kepada Anda bila peraturan tersebut tidak diterapkan.

Selain itu, Anda juga sebaiknya mengetahui apakah tempat-tempat seperti taman bermain, sekolah, tempat penitipan anak, serta tempat kursus yang didatangi anak setiap hari memiliki kebijakan pintu-terbuka. Artinya, di dalam ruangan tempat anak-anak beraktivitas, jendela atau pintunya harus selalu dibuka. Lebih baik lagi bila instruktur atau guru kerap melakukan “kunjungan mendadak” secara rutin ke ruangan-ruangan tersebut sebagai bagian dari upaya pengawasan.

Jika ingin menyewa pengasuh anak, pertama-tama yang harus Anda lakukan adalah memeriksa latar belakangnya. Carilah referensi dari orang yang pernah memekerjakannya. Lalu, buat rencana untuk mampir tanpa memberitahukan sebelumnya, untuk melihat bagaimana pengawasan yang dilakukan si pengasuh. Jelaskan juga kepadanya bahwa Anda tidak memerbolehkan anak ditinggalkan dengan orang lain tanpa seizin Anda langsung. Sebab, Anda tak akan pernah tahu apakah teman atau sanak saudara pengasuh itu memiliki masalah kelainan seksual atau tidak, jelas Johnson.
[***]
Kenali Orang Terdekat Anak

Anda juga perlu mengenal guru, pelatih, dan orang dewasa lain yang terlibat dalam aktivitas anak sehari-hari. Perhatikan bagaimana mereka berinteraksi dengan anak Anda. Sediakan waktu untuk datang ke sekolah dan terlibat dalam kegiatan orang tua murid, supaya Anda bisa melihat dan merasakan suasananya. Jika ada perasaan tak nyaman, coba bicarakan dengan orang tua murid yang lain untuk mengetahui apakah mereka merasakan hal yang sama. “Jika ada orang tua yang memiliki kekhawatiran tertentu, diskusikan secara bersama-sama tindakan apa yang dapat dilakukan untuk melindungi anak-anak di sekolah,” ujar Kristen Houser, wakil presiden bidang komunikasi dan pengembangan untuk koalisi kejahatan anti-seksual Pennsylvania Coalition Against Rape, yang juga pendiri National Sexual Violence Resource Center.

Tak kalah penting adalah mengenal teman-teman anak Anda. Terutama bila si kecil memilliki (beberapa) teman dekat. Faktanya, lebih dari sepertiga pelaku pelecehan seksual adalah anak/remaja berusia di bawah 18 tahun. Dan, tak semua anak menyadari bahwa apa yang dilakukan temannya itu sebenarnya salah karena termasuk dalam tindakan pelecehan seksual, terang Deborah Donovan Rice, direktur eksekutif Stop It Now!

Kenali tanda peringatan

Hanya satu dari lima anak yang pernah mengalami pelecehan seksual bersedia melaporkan peristiwa itu, kata Robin Castle, manajer pencegahan pelecehan seksual terhadap anak di lembaga Prevent Child Abuse Vermont. (Sebagian besar orang yang selamat baru berani bercerita setelah mereka dewasa.) “Sungguh sangat berat bagi seorang anak untuk menceritakan kejadian mengerikan itu, sebaik apa pun situasinya,” Castle menjelaskan. Karena itu, Anda harus peka terhadap tanda-tanda peringatan. “Misalnya ketika anak bilang ia tak mau berada di dekat orang tertentu atau tak mau ikut kegiatan tamasya, Anda patut curiga,” kata Lee, yang bercerita berdasarkan pengalaman pribadinya. Semasa kecil, ia mengalami kekerasan oleh salah seorang paman yang berkata tak ada orang yang akan mencintainya jika mengetahui apa yang sudah ia lakukan. Ia lalu tidak menceritakan perihal itu kepada siapa pun. Namun, setiap kali ada pertemuan keluarga besar ia selalu menangis saking takutnya.

Pada sebagian anak, Anda bisa melihat pertanda fisik seperti tiba-tiba anak mengalami infeksi saluran kencing tanpa sebab yang jelas, kemerahan atau bengkak di sekitar kelamin. Selain itu juga timbul perubahan tingkah laku seperti perubahan suasana hati yang ekstrem, mudah marah dan meledak-ledak, susah tidur, menarik diri dari lingkungan, atau nilai sekolah yang menurun. Pertanda lainnya yaitu anak tiba-tiba memiliki pemahaman tentang hal-hal yang bersifat seksual, padahal Anda tak pernah mengajarinya. Misalnya melontarkan istilah atau meniru tingkah laku tertentu. Semua pertanda itu memang tidak dapat secara langsung memastikan bahwa anak telah mengalami pelecehan seksual, namun setidaknya dapat menjadi sinyal bahwa ada sesuatu yang layak dikhawatirkan. Selanjutnya, Anda bisa memertimbangkan apakah perlu membawa anak ke psikolog atau dokter spesialis anak yang telah berpengalaman menangani anak korban kekerasan seksual.

Di atas segalanya, ini yang harus Anda pahami: “Jika Anda mencurigai seorang anak telah mengalami kekerasan seksual, jangan memutuskan untuk menyelidikinya sendiri,” kata Johnson tegas. Mengajukan pertanyaan dengan bertubi-tubi kepada anak justru dapat menghambat penyelidikan. Yang sebaiknya Anda lakukan adalah melaporkan kecurigaan ke lembaga pelayanan dan perlindungan anak terdekat.

Cara membicarakan pelecehan

Jika suatu hari anak bercerita kepada Anda bahwa ia pernah mengalami kekerasan seksual, tanggung jawab terbesar Anda adalah: “Mendengarkan penuturannya dengan penuh perhatian, penuh kasih, dan tunjukkan sikap mendukung,” kata Johnson. Di sisi lain, para ahli setuju bahwa terkadang insiden yang disampaikan anak-anak memang tak terbukti benar. Karena itu, sesungguhnya tak ada formula yang jitu bagi orang tua dalam menghadapi situasi seperti ini. Anda harus mampu memahami keterkaitan konteks cerita dan usia anak, kemungkinan tersangka, dan berapa lama kekerasan telah berlangsung. Meski begitu, ada panduan dasar yang harus Anda pahami.

Pertama, pastikan pembicaraan dilakukan secara tertutup antara Anda dan anak saja. Sadari gerak tubuh Anda; Majukan tubuh ke depan, lakukan kontak mata, dan sejajarkan pandangan Anda dengan anak agar ia merasa nyaman, papar psikolog Julie Medlin, PhD, yang bersama Seteven Knauts, PhD, menulis buku Avoiding Sexual Dangers: A Parent’s Guide to Protecting Your Child.

Jangan lupa untuk meyakinkan anak bahwa Anda memercayai ucapannya dan ia telah melakukan tindakan yang tepat dengan bercerita kepada Anda. Ajukan pertanyaan yang tepat dan memancing anak untuk memberi jawaban deskriptif (“Apa yang kamu lakukan bersamanya?” “Apa yang terjadi kemudian?”). Hindari mengajukan pertanyaan yang menggiring jawaban, seperti “Apakah ia memegang alat kelaminmu?”

Terkadang ada sebagian orang tua yang justru bereaksi kurang bijaksana ketika mendengar aduan anak. Contohnya menyangkal peristiwa semacam itu (“Pamanmu tidak mungkin melakukan hal seperti itu!”), menyalahkan si anak (“Kamu kok diam saja diperlakukan seperti itu?”) atau menjadi histeris (“Aku akan membunuhnya!”). Alih-alih membuat anak merasa aman dan terlindungi, respons-respons tadi justru membuat mereka kian ragu dan resah. Tak jarang mereka malah mengubah ceritanya karena takut. Semestinya yang dilakukan orang tua adalah berusaha meyakinkan anak bahwa Anda tidak marah atau kecewa setelah mendengar ceritanya. Juga, tegaskan bahwa apa yang terjadi itu bukan salahnya.

Anak Perlu Dukungan

Menurut David Finkelhor, PhD, direktur University of New Hampshire’s Crimes Against Children Research Center, anak-anak korban kekerasan seksual yang mendapat dukungan dan pertolongan dapat diselamatkan dan dipulihkan mentalnya. Selain itu, Finkelhor menambahkan, riset menunjukkan bahwa anak-anak korban kekerasan seksual pada umumnya tumbuh tanpa gangguan mental atau masalah perilaku yang serius. Beberapa faktor penting yang dapat menolong anak adalah dukungan sosial, rasa percaya diri yang kuat, serta pemahaman anak bahwa ia bukanlah pihak yang disalahkan dalam kejadian itu. Psikolog dan psikiater dengan keahlian khusus dapat membantu anak-anak mengatasi trauma mereka. Karena itu, sangatlah penting bagi korban untuk melaporkan kejadian yang mereka alami. “Merahasiakan peristiwa seperti ini dapat membuat anak menyimpan rasa malu yang dapat membahayakan masa depannya,” kata Houser.Parents.com (Parents Indonesia)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment