Eric Liddell :
Sesaat sebelum final 400 meter Olimpiade 1924 di Paris, Eric Liddell menerima selembar kertas yang bertuliskan,” " He who honors me, I will honor."( Siapa yang menghormati Aku (Tuhan) akan Kuhormati)). Tulisan itu diterimanya karena dia memilih untuk lebih menghormati Tuhan daripada bertanding di nomor spesialisasinya. Baginya hari Minggu adalah milik Tuhan dan hari yang harus dikuduskan bagi Dia . Nampaknya sepele tapi dia berkomitmen untuk menunjukkan ketaatan kepada Tuhan.
Tuhan memberikan ganjaran yang luar biasa bagi Eric. Tuhan memberikannya kemenangan mutlak atas lawan—lawannya sehingga dia meraih medali emas. Pada hari wisudanya, Eric dimahkotai dengan karangan bunga zaitun sebagai lambang kejayaannya di arena Olimpiade dan diarak sepanjang jalan Edinburgh. Setahun kemudian, ketika Eric memutuskan untuk melayani di China sebagai misionaris, kembali ia diarak ke stasiun kereta api. Di Jepang dan China, walaupun jauh dari publikasi kesuksesannya, Eric acapkali diminta untuk tampil di arena olahraga. Kepopuleran Eric yang mencapai belahan dunia bagian timur terlihat dari sanjungan penonton setiap kali Eric tampil.
Menariknya adalah setelah dia tiada, apresiasi dan penghormatan tidak kunjung henti mengalir terhadap dirinya . Kehidupan Eric Liddell telah menjadi inspirasi bagi jutaan orang tidak hanya di dunia Barat yang mengangkat kisahnya menjadi sebuah film “Chariots of Fire”. Bahkan dia menerima penghormatan yang luar biasa dari pemerintah Cina. Hanya sedikit orang Barat yang sangat dihormati oleh orang Cina, termasuk pemerintah Cina modern, seperti Eric Liddell. Dia dihargai sebagai pahlawan baik dalam olahraga (dia adalah orang pertama yang lahir di Cina untuk memenangkan medali Olimpiade) dan dalam kehidupan, dia dihormati karena cinta dan pengorbanannya bagi orang-orang Cina.
Tuhan memberikan ganjaran yang luar biasa bagi Eric. Tuhan memberikannya kemenangan mutlak atas lawan—lawannya sehingga dia meraih medali emas. Pada hari wisudanya, Eric dimahkotai dengan karangan bunga zaitun sebagai lambang kejayaannya di arena Olimpiade dan diarak sepanjang jalan Edinburgh. Setahun kemudian, ketika Eric memutuskan untuk melayani di China sebagai misionaris, kembali ia diarak ke stasiun kereta api. Di Jepang dan China, walaupun jauh dari publikasi kesuksesannya, Eric acapkali diminta untuk tampil di arena olahraga. Kepopuleran Eric yang mencapai belahan dunia bagian timur terlihat dari sanjungan penonton setiap kali Eric tampil.
Menariknya adalah setelah dia tiada, apresiasi dan penghormatan tidak kunjung henti mengalir terhadap dirinya . Kehidupan Eric Liddell telah menjadi inspirasi bagi jutaan orang tidak hanya di dunia Barat yang mengangkat kisahnya menjadi sebuah film “Chariots of Fire”. Bahkan dia menerima penghormatan yang luar biasa dari pemerintah Cina. Hanya sedikit orang Barat yang sangat dihormati oleh orang Cina, termasuk pemerintah Cina modern, seperti Eric Liddell. Dia dihargai sebagai pahlawan baik dalam olahraga (dia adalah orang pertama yang lahir di Cina untuk memenangkan medali Olimpiade) dan dalam kehidupan, dia dihormati karena cinta dan pengorbanannya bagi orang-orang Cina.
Bentuk penghormatannya adalah :
- Dia dihormati sebagai pahlawan perang. Di Tianjin, rumah Eric dilindungi sebagai bangunan yang bersejarah.
- Pada situs dari pengasingan Weihsien Camp, sebuah monumen batu didirikan untuk menghormatinya.
- Banyak jaringan TV di Cina telah menghasilkan film dokumenter dalam hidupnya.
- Sebuah saluran film 24 jam di China membeli hak siar untuk Chariots of Fire pada tahun 1990 dan telah menayangkan filmnya berulang kali. Para penonton telah diperkirakan mencapai 850 juta. Pihak stasiun TV menerima respons yang sangat antusias - - orang Cina dari setiap sudut negara ini telah mengirim ratusan ribu surat dan e-mail kepada manajer chanel TV, meminta filmnya diputar kembali.
- Sebuah buku berjudul "Running the Race" oleh John Keddie, biografi yang menggambarkan prestasi olahraga Liddell dalam konteks rohani di mana ia hidup, baru-baru ini diterbitkan dalam bahasa Mandarin dan didistribusikan di Cina. Ini adalah kehormatan yang sangat langka dan direkomendasikan pemerintah Komunis-suatu bukti lebih lanjut dari apa yang diberikan Eric Liddell untuk negera Cina yang tetap bertahan dan diakui hingga kini.
- Film baru tentang Eric berjudul The Flying Man akan diproduksi. Film itu produksi bersama Cina Amerika dan disutradari oleh orang Cina. Para produsen dari The Flying Man berharap bahwa film ini akan diterima dengan baik di Cina dan di luar Cina.
Eric Liddell lahir pada tahun 1902 di kota Tianjin, Cina (sekitar 50 mil sebelah tenggara Beijing). Orang tuanya adalah misionaris Presbyterian. Tidak lama setelah kelahirannya, keluarganya pindah ke Siaochang, sekitar 100 mil barat laut Beijing. Eric kembali ke Inggris dan pada usia enam ia masuk sekolah. Bakatnya dalam olah raga sangat menonjol dan dia mulai terkenal sebagai atlit rugby dan pelari atletik. Tapi karena sempitnya waktu Eric memilih berkonsentrasi di atletik.
Staminanya yang tinggi, kegigihan dan sportivitas membuat Eric Lidell semakin terkenal ditambah dengan prestasinya yang terus bersinar. Puncaknya adalah kemenangannya di Olimpiade Paris dengan sebuah medali emas dan medali perak. Eric ibaratnya Usain Bolt pada masa itu dan dia dijuluki “Flying Scotsman”. Tapi Eric tetaplah Eric yang penuh kepolosan dan kerendahan hati. Dengan ketenarannya, segala macam pintu keberhasilan duniawi sangat terbuka baginya, tetapi ia menyatakan bahwa ia akan kembali ke China, mengikuti jejak ayahnya dan kakaknya yang tertua, Rob untuk menjadi misionaris.
Staminanya yang tinggi, kegigihan dan sportivitas membuat Eric Lidell semakin terkenal ditambah dengan prestasinya yang terus bersinar. Puncaknya adalah kemenangannya di Olimpiade Paris dengan sebuah medali emas dan medali perak. Eric ibaratnya Usain Bolt pada masa itu dan dia dijuluki “Flying Scotsman”. Tapi Eric tetaplah Eric yang penuh kepolosan dan kerendahan hati. Dengan ketenarannya, segala macam pintu keberhasilan duniawi sangat terbuka baginya, tetapi ia menyatakan bahwa ia akan kembali ke China, mengikuti jejak ayahnya dan kakaknya yang tertua, Rob untuk menjadi misionaris.
Saat kembali ke China Eric menyaksikan dampak penderitaan akibat perang, kelaparan dan tragedi lainnya. Dia bekerja di College Anglo-Cina di Tianjin sebagai guru ilmu pengetahuan dan menjadi favorit mahasiswa China. Saat mengajar dia menggunakan kesempatan itu untuk menyampaikan kabar baik tentang Kristus kepada murid-muridnya. Setelah kembali ke Tianjin dari cuti pertama pada tahun 1932, ia menikah dengan Florence Mackenzie, putri misionaris Kanada. Pasangan itu memiliki tiga anak perempuan, Patricia, Heather dan Maureen.
Pada tahun 1937, pasukan Jepang melakukan invasi ke Cina Utara. Selama pendudukan Jepang, ia menyaksikan kebrutalan tentara Jepang. Dia membantu para korban dengan segala daya upayanya, termasuk mengajar mereka lagu-lagu rohani (himne). Dalam satu peristiwa dramatis, ia mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan seorang tentara Cina terluka.
Pada tahun 1941, kehidupan di China telah menjadi begitu berbahaya sehingga pemerintah Inggris menyarankan warga negara Inggris untuk pergi dari negara itu. Eric menghadapi keputusan yang sulit dan menghadapi pilihan untuk tinggal di China untuk melanjutkan pekerjaannya meskipun penuh resiko. Ia menyuruh istrinya yang sedang hamil dan dua putrinya berangkat ke Kanada, namun ia tidak menyadari bahwa pada akhirnya ia tidak akan pernah melihat mereka lagi.
Di Siao Chang dia bergabung dengan saudaranya Rob yang menjadi dokter dan Eric melayani orang-orang miskin.
Setelah AS terlibat perang di Asia, tentara Jepang semakin terdesak lebih jauh ke Cina. Ketika pertempuran mencapai Siaochang tahun 1943, Jepang mengirim tahanan Barat ke Weihsien Interniran Camp, kamp interniran terbesar di Asia selama Perang Dunia II, terletak hampir di tengah antara Beijing dan Shanghai.
Saat berada di kamp, Eric terus melakukan pelayanan untuk semua orang yang membutuhkan di sekelilingnya. Ia membantu orang sakit dan lanjut usia dan berbagi makanan dengan mereka yang lebih membutuhkan. Dia mengatur pertandingan sepak bola dan menjadi wasit bagi anak-anak muda. Ketika ia menemukan anak laki-laki tanpa sepatu di musim dingin, Eric memberinya sepatu lari nya - yang ia digunakan dalam Olimpiade.
Saat berada di kamp, Eric terus melakukan pelayanan untuk semua orang yang membutuhkan di sekelilingnya. Ia membantu orang sakit dan lanjut usia dan berbagi makanan dengan mereka yang lebih membutuhkan. Dia mengatur pertandingan sepak bola dan menjadi wasit bagi anak-anak muda. Ketika ia menemukan anak laki-laki tanpa sepatu di musim dingin, Eric memberinya sepatu lari nya - yang ia digunakan dalam Olimpiade.
Ia sendiri tinggal di asrama pria yang sesak. Bersama teman sekamarnya, dan dengan bantuan cahaya lampu minyak kelapa yang berkedip-kedip, ia bangun jam lima setiap dini hari ia mempelajari Alkitab dan bersekutu dengan Tuhan selama satu jam. Kesan salah seorang rekannya di kamp bernama Norman Cliff menggambarkan Liddell sebagai "the finest Christian gentleman it has been my pleasure to meet. In all the time in the camp, I never heard him say a bad word about anybody".
Eric menunjukkan karakter yang sangat agung ketika ia memerintahkan rekan-rekannya sesama tahanan untuk tidak membenci orang Jepang, tetapi untuk mengampuni mereka dan berdoa bagi mereka.
Kehidupan di kamp semakin parah dan bahan makanan menjadi sangat langka. Sebuah kesempatan datang buat Eric saat namanya muncul di bagian atas daftar untuk pertukaran POW (prisoner of war) yang dinegosiasikan atas namanya oleh Winston Churchill. Ia menolak untuk dipertukarkan, sebaliknya ia menyerahkan tempatnya kepada wanita hamil dan memilih untuk tetap terus melayani para tahanan lainnya. Alasan penolakan Eric itu sendiri baru dibuka oleh Pemerintah Cina tahun 2008 yang mengungkapkan betapa heroiknya sang misionaris ini yang mau mengorbankan nyawanya untuk keselamatan orang lain.
Eric menunjukkan karakter yang sangat agung ketika ia memerintahkan rekan-rekannya sesama tahanan untuk tidak membenci orang Jepang, tetapi untuk mengampuni mereka dan berdoa bagi mereka.
Kehidupan di kamp semakin parah dan bahan makanan menjadi sangat langka. Sebuah kesempatan datang buat Eric saat namanya muncul di bagian atas daftar untuk pertukaran POW (prisoner of war) yang dinegosiasikan atas namanya oleh Winston Churchill. Ia menolak untuk dipertukarkan, sebaliknya ia menyerahkan tempatnya kepada wanita hamil dan memilih untuk tetap terus melayani para tahanan lainnya. Alasan penolakan Eric itu sendiri baru dibuka oleh Pemerintah Cina tahun 2008 yang mengungkapkan betapa heroiknya sang misionaris ini yang mau mengorbankan nyawanya untuk keselamatan orang lain.
Kesehatan Eric mulai bermasalah, ada tumor otak yang muncul dan tidak disadarinya, diperburuk oleh kelelahan dan gizi, mempercepat kematiannya. Eric meninggal di kamp pada 21 Februari 1945, lima bulan sebelum pembebasan. Saat dia meninggal dia mengatakan," "It's complete surrender", dia menyerahkan hidupnya secara total kepada Tuhan. Dia mengakhiri pertandingan dengan baik dan meraih mahkota kemenangan tidak hanya di mata dunia tapi di hadapan Tuhan.
Eric, sebagai pelari dia telah berlari dalam pertandingan iman hingga finish. "Bertandinglah dalam pertandingan iman yang benar dan rebutlah hidup yang kekal." (I Tim 6:12). Dia kini menerima mahkota surgawi karena iman dan kesetiaannya yang sungguh, komitmen kepada Tuhan dalam pelayanan yang luar biasa sampai akhir hidupnya.
Liddell pernah berkata, “Kita semua adalah misionaris. Ke manapun kita pergi, kita entah sedang membawa orang lebih dekat kepada Kristus, atau kita sedang mendorong mereka menjauhi Kristus.”
“We are all missionaries. Wherever we go, we either bring people nearer to Christ, or we repel them from Christ.”
salut....!
ReplyDelete