Paradoks Manusia : Hina tapi Mulia - Mulia tapi Hina
Ada seorang pendeta di Jakarta yang pernah berkhotbah dengan mengatakan bahwa orang-orang percaya adalah Allah. Kata pendeta itu, “Logikanya adalah karena kita anak Allah maka kita adalah Allah.” Tambahnya,”seperti anak kucing kan walaupun dia kecil tapi kan tetap namanya kucing, nah kita pun demikian. Jika kita anaka Allah, ya kita sebenarnya adala Allah…” Gubrakkk. Pengajaran seperti ini bukan hanya pertama kali saya dengar. Khotbah di atas bukan hanya fallacia (pengmbilan kesimpulan yang salah) tapi benar-benar pnyesatan atau dusta. Manusia tidak pernah mau belajar dari kesalahan fatal nenek moyangnya jaman dahulu yang terobsesi untuk menjadi seperti Allah.
Untuk melihat potret diri manusia sebenarnya tidak ada sumber lain yang bisa menyajikan kebenaran secara akurat selain Alkitab. Alkitab mengatakkan bahwa manusia adalah gambar dan rupa Allah. Sederhana, singkat tapi sangat jelas. Dari pernyataan ini sesungguhnya mengandung dua makna yang menunjukkan paradoks manusia.
Pertama, manusia harusnya menyadari bahwa dia hanyalah gambar dan rupa saja. Bukan Allah. Jelas beda antara AIlah dan gambar dan rupa Allah. Sewaktu Allah menciptakan manusia, anda pasti ingat materi yang Allah pilih untuk menciptakan manusia yaitu dari debu tanah. Saya mengutip ungkapan dari Richard Pratt dalam bukunya Design for Dignity bahwa manusia tidak diciptakan dari materi yang mewah atau dari logam mulia. Pernahkah terpikir oleh kita bahwa Allah mencipta kita bukan dari bahan yang berkilauan seperti emas atau batu permata atau berlian tetapi justru dari materi yang kusam dan rapuh. Hal ini untuk mengingatkan diri anda dan saya bahwa anda dan saya adalah ciptaan yang hina. Kita dijadikan dari debu yang rapuh dan kusam dan suatu saat pasti akan kembali menjadi debu.
Sewaktu Musa menulis Kitab Kejadian ini, dia teringat kepada Firaun yang memperilah diri sendiri dan disembah sebagai dewa tertinggi di Mesir. Firaun yang disembah sebagai dewa oleh orang Mesir menempatkan orang Israel sebagai budak, suatu kedudukan yang paling rendah. Kebenaran ini, yaitu bahwa manusia adalah gambar dan rupa mengingatkan kepada bangsa Israel bahwa Firaun itu sesungguhnya hanyalah debu tanah di hadapan Tuhan. Demikian pula pejabat-pejabat atau para penguasa Mesir dan penguasa lainnya di dunia ini. Firman ini sekaligus menunjukkan kepada kita semua bahwa semua manusia, baik penguasa atau rakyat jelata, tua muda, besar kecil ganteng atau cantik maupun yang enggak, kulit putih sampai gelap sesungguhnya diciptakan dari debu tanah, tanpa terkecuali. Ini menunjukkan betapa hinanya dan betapa rendahnya sebenarnya kita di hadapan Tuhan.
Tapi entah karena penyakit lupa atau obsesi untuk menjadi seperti Allah, manusia sering melupakan kebenaran ini. Atau kita mencoba untuk menghindari kenyataan ini dan menganggap bahwa kita memiliki potensi yang serba tak terbatas dan bisa mengembangkan kemampuan kita yang katanya tak terbatas. Dengan entah menggunakan energi semesta dan sebagainya manusia katanya bisa mewujudkan segala sesuatu yang bahkan mustahil sekalipun dengan energi yang tersimpan dalam dirinya. Manusia pada akhirnya merasa tidak membutuhkan Allah lagi. Semuanya bisa dilakukan dan dicapai tanpa Allah, kok, katanya. Manusia bangga dengan segala teknologi canggih dan segala kehebatan yang dicapainya selama ini. Kenyataannya teknologi tidak bisa berbuat apa-apa ketika terjadi bencana. misalnya saat gunung di Eropa Utara meletus dan menimbulkan kepankan di Eropa, manusia tidak bisa berbuat apa-apa.
Tapi manusia tetap terus membanggakan diri tepatnya menunjukkan arogansinya dalam berbagai hal. Kita mudah menyombongkan diri secra rohani, menganggap hanya kita yang terplih, kita yang karunia rohnya lebih banyak atau lebih elit dan kita meremehkan orang yang karunia rohnya biasa-biasa saja, yang tidak seperti kita punya. Kita merasa bahwa dieri kitalah yang paling penting dan paling dibutuhkan dan tidak tergantikan oleh orang lain. Status dan kedudukan tinggi sedikit saja membutakan pikiran dan hati kita dan membuat kita lupa pada status dan hakekat diri kita yang sebenarnya. Banyak manusia yang terjebak dengan hal ini. Kepintaran, kehebatan atau prestasi dan karunia yang kita miliki itu sesungguhnya adalah anugerah dan kemurahan Tuhan tetapi kita mengingkarinya dan kita mengklain itu adalah karena kita, skill kita, bakat kita, karunia kita.
Kita lupa bahwa penyombongan diri adalah dosa yang sangat ditentang Tuhan. Kita melupakan kisah Nebukadnezar yang membanggakan prestasinya dan kehebatan dirinya sehingah akhirnya direndahkan dan ditunddukkan Tuhan menjadi seperti binatang. Kita lupa Herodes yang ditampar malaikat karena menganggap dirinya dewa. Kita llupa hakekat diri kita yang sebenarnya, manusia yang sesungguhnya hina, rendah di hadapan Tuhan.
Kedua, manusia hina tapi mulia. Inilah paradoks manusia yang sangat unik. Kita bukan hanya sekedar gambar dan rupa saja, bukan hanya makhluk hina semata. Kita adalah gambar dan rupa Allah. Allah menciptakan kita dengan kemuliaan yang jauh lebih tinggi dan mulia disbanding makhluk apapun. Ingat, Allah tidak menciptakan kita serupa dengan monyet atau yang serumpun dengan mereka (wkwkw). Tuhan tidak mencipta kita serupa dengan binatang, pohon,batu, atau malaikat atau apapun. Kita dicipta serupa dan segambar dengan Allah.
Kembali pada zaman Musa, dia menunjukkan dan mengaskanbahwa sesungguhnya manusia adalah gambar Allah. Walaupaun bangsa Israel secara status dan kedudukannya adalah budak, suatu status yang paling rendah mereka miliki (ingat mereka terjajah selama 430 tahun) tetapi di hadapan Allah mereka sesungguhnya adalah gambar dan rupa Allah. Bukan hanya Firaun penguasa Mesir itu yang mulia dan berharga, tetapi bangsa Israelpun mereka adalah mulia dan berharga di hadapan Allah. Ini mengandung makna yang dalam bahwa tidak terkecuali, kita semua sama-sama adalah gambar dan rupa Allah. Sekali lagi, tua muda, besar kecil, kurus gemuk, mancung pesek, kaya miskin, ganteng cantik dan yang enggak semuanya adalah gambar dan rupa Allah. Sebagai gambar dan rupa artinya kita adalah representatif Allah di dunia ini. Gambar dan rupa Allah bukanlah milik kelompok atau banga tertentu. Gambar dan rupa Allah tidak hanya diberikan kepada sebagain orang tetapi kita semua, anda dan saya adalah gambar dan rupa Allah. Hei, kita menyandang status dan predikat yang sangat mulia, dan predikat serta status itu tidak dianugerahkan oleh manusia. Status dan prdikat itu tidak datang dari presiden atau raja tetapi Allah sendiri. Bukankah hal itu sangat luar biasa.
Kalau Tuhan menciptakan dan memandang kita sebagai gambar dan rupa-Nya seharusnya kita memandang diri kita dan orang lain dengan cara yang demikian. Tetapi lagi-lagi kita lupa. Sering kita memandang rendah orang lain hanya dengan melihat penampilannya atau latar belakangnya. Kita mengolok-olok atau menjadikan bahan lelucon orang lain yang memiliki kelemahan dan kekurangan. Kita merasa kita lebih baik, lebih elit, lebih istimewa dan lebih tinggi serta mulia dari sesama kita dan pada akhirnya menginjak-injak orang lain. Di sisi lain, ada juga orang yang justru merasa dirinya selalu minder atau rendah diri dan menganggap dirinya tidak berharga. Bahkan ada tragedi seseorang yang merasa dirinya tidak dianggap sebagai manusia dan pada akhirnya merasa dirinya bukan manusia lagi lalu akhirnya memilih untuk mengakhiri hidupnya saking tidak tahan dihina. Inilah tragedi manusia, pelecehan terhadap sesamanya yang terus terulang dengan berbagai bentuk yang seharusnya tidak perlu terjadi. Pelecehan etnis, pelecehan bangsa atau kelompok atau individu seharusnya tidak perlu terjadi kalau kita semua memandang bahwa semua manusia adalah gambar Allah.
Kita harus mengubah cara pandang dan cara memperlakukan baik diri sendiri maupun sesama. Mul;ai dari cara memandang diri. Jelas, kita punya banyak kekurangan dan kelemahan. Tapi ingat, kita tetaplah gambar Alah. Diri kita dalah cermin Allah, suatu cermin dari kemuliaan dan keagungan dari Pencipta kita sendiri. Kita tetaplah berharga di mata-Nya karena kita adalah gambar dan rupa Allah. Walaupun kita berdosa, gambar dan rupa Allah itu tetap ada dalam diri kita. Sewaktu bercermin, ingatlah bahwa Anda sangat mulia dan berharga. Saya kembali mengutip kalimat Richard Pratt yang mengatakan bahwa di mata Allah, Anda pentingnya dan sama nilainya dibanding dengan penguasa manapun yang pernah ada di bumi. Lalu terhadap orang lain, sudahkah anda memandang orang lain dan memperlakukan mereka sebagai gambar dan rupa Allah yang mulia? Bila melihat orang yang secara status dan latar belakang serta kedudukan yang sangat kontras dengan kita, bagaimana cara pandang kita dan bagaimana reaksi kita terhadap mereka? Sudahkah kita memandang mereka dengan cara yang sama seperti Allah memandang mereka?
Soli Deo Gloria
Nice artikel.... !!! setujuuuu..... !!!!
ReplyDeleteThanks buat komentnya, koment pertama di posting ini :)
ReplyDeletesudah atuh ke dynamicdrive mah...hehehe
ReplyDeleteitu mah web segala atuh...xixixi web maknyusss \m/
ada kata-kata pada paragraf terakhir yg pengen dikutip. " harus mengubah cara pandang diri sendiri".
ReplyDeleteSalam Blogger, Mampir ke Konveksi Jakarta
Salam bloger juga, thanks buat kunjungan Anda
ReplyDelete